Ligt of the Darkness
Energy Saving Mode Using CSS3

Move your mouse to go back to the page!
Gerakkan mouse anda dan silahkan nikmati kembali posting kami!

ミスバハ

  • RSS
  • Skype
  • Facebook
  • Yahoo

Twitter

BAB IV
PSIKOLOGI
     A.Psikologi
Psikoligi adalah ilmu yang otonom. Ilmu ini seperti juga disiplin linguistik, juga merupakan ilmu yang bersifat empiris. Secara Etimologis, kata psikologi berasal dari bahasa Yunani kuno psyche dan logos. Kata psyche bermakna jiwa, roh, atau sukma, sedangkan kata logos bermakna ilmu. Jadi psikologi adalah ilmu atau suatu studi tentang jiwa. Ketika psikologi masih merupakan bagian dari filsafat definisi ini masih dapat dipertahankan. Namun perkembangan selanjutnya lebih cenderung melihat bahwa psikologi ingin membahas sisi-sisi manusia itu dari segi yang dapat diamati.
Dan menurut Woodworth dan Marquis (1958:7) mengatakan “Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku individu dalam hubungannya dengan alam sekitar.
Menurut Kagan dan Havemann (1972:9) yang berpendapat bahwa psikologi adalah ilmu pengetahuan yang secara sistematis mempelajari dan mencoba menjelaskan tingkah laku yang dapat diamati dan hubungannya dengan proses mental yang tidak dapat dilihat yang berlangsung di dalam organ dan menggejala ke luar dalam lingkungan.
Dari paparan di atas, dapat kami simpulkan bahwa Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang secara sistematis mempelajari tingkah laku individu yang dapat diamati hubungannya dengan proses mental yang tidak dapat dilihat yang berlangsung didalam organ dan menggejala dengan alam sekitar. Dari para pendapat tampak persamaan bahwa yang menjadi objek psikologi adalah tingkah laku manusia yang dapat diamati.
Dan tingkah laku atau aktivitas dapat digolongkan atas:
  1. Aktivitas gerak (motoric activity), yakni aktivitas yang mudah diamati karena berwujud gerakan, baik yang disadari maupun yang tidak disadari.misalnya:berjalan, menyanyi.
  2. Aktivitas kognitif (cognitive activity), yakni aktivitas yang berkaitan dengan pengertian, persepsi, penalaran tentang dunia.
  3. Aktivitas konatif (conative activity), yakni aktivitas yang berhubungan dengan dorongan-dorongan untuk mencapai sesuatu.
  4. Aktivitas afektif (affective activity), yakni aktivitas yang ada kaitannya dengan perasaan. Aktivitas afektif, misalnya:tersinggung, merasa nikmat.
B.     Struktur Jiwa Manusia
Struktur jiwa manusia diskemakan oleh Warouw (1958:132), sbb:
Antara ketiga bagian jiwa, yakni das Es, das Bewustze dan das Ueber Ich, tidak terdapat perbatasan yang tajam.
            Apa yang berproses dalam struktur jiwa ini dapat dimanifestasikan dengan menggunakan bahasa. Hal itu terjadi apabila kita berada dalam keadaan sadar (das Bewuszte). Kegiatan berupa kognitif, motoris, konatif, maupun yang bersifat afektif dapat diamati perwujudannya apabila seseorang dalam keadaan sadar.
            Struktur jiwa manusia terbagi atas tiga bagian, yaitu
  1. Kesadaran Mulia (das Ueber Ich, super Ego), kesadaran mulia akan menyebabkan orang berbuat yang terpuji, misalnya:dengan segala ketulusan akan memelihara anak yatim.
  2. Struktur berikutnya adalah alam kesadaran (das Bewuszte), dengan adanya alam kesadaran itu, manusia dapat mengamati dunia di luar dirinya dengan menggunakan alat dria, dan dapat memandang ke dalam dirinya sendiri berupa aktivitas retrospeksi.
  3. Struktur di bawahnya adalah alam bawah sadar. Alam bawah sadar berisi kompleks-kompleks tertekan. Misal:kita tersinggung mendengar kata-kata orang atau perlakuan orang kepada kita, tetapi perlakuan itu kita pendam. Perlakuan atau kata-kata itu yang menyinggung itu menjadi kompleks-kompleks tertekan. Kompleks-kompleks tertekan itu kadang-kadang muncul dalam mimpi kita. Itu sebabnya kadang disaat orang tidur didekat kita berteriak sambil mengeluarkan kata-kata yang tidak karuan. Bahan-bahan yang telah dilupakan, kompleks-kompleks tertekan, nafsu rendah dan kuno, kadang-kadang muncul kea lam sadar kita, dan apabila hal ini akan terjadi, maka gejala ini mengalami proses penyaringan melalui psiko-sensura dan das vor Bewuszte.
Dan hubungan Psikolinguistik dengan struktur jiwa adalah dimana psikolinguistik berobjekkan bahasa, sedangkan penggunaan bahasa selalu berhubungan dengan alam sadar kita. Jadi Psikolinguistik selalu berhubungan dengan alam sadar atau dengan struktur jiwa.

C.    Perkembangan Pengajaran Bahasa Berdasarkan Psikologi
Pada awal abad XX ada teori Asosiasi yang mengasumsikan bahwa proses belajar sebuah bahasa melalui pembentukan asosiasi. Apabila seorang anak belajar sebuah bahasa, ia melakukan asosiasi kata-kata cantik dan kalimat dengan pikiran, ide-ide, kegiatan dan peristiwa atau proses.
Sweet (Stern, 1983:317) mengemukakan beberapa prinsip yang dikaitkan dengan teori belajar berdasarkan asosiasi.
  1. Sajikan kata atau bahan yang frekuensi penggunaanya tinggi. Misal:kata duduk dan makan.
  2. Sajikan kata atau bentuk yang pengertiannya sama atau mirip secara bersama-sama. Misal:kata duduk mirip pengertiannya dengan kata berjongkok.
  3. Bedakan kata yang pengertiannya sama dengan yang tidak sama.
Misal:berkata-kata sama maknanya dengan berbincang-bincang, tetapi kata gemuk berbeda pengertiannya dengan kata kurus.
  1. Usahakan asosiasi-asosiasi dapat ditentukan
Misalnya: Si terdidik mendengar kata miskin. Asosiasi si terdidik terhadap kata miskin dapat ditentukan karena setiap hari si terdidik melihat orang miskin, bahkan kemungkinan dia sendiri anak orang miskin.
  1. Sajikan asosiasi-asosiasi itu secara langsung dan konkret.
Misalnya;si terdidik mendengar kata kurus. Kita dapat menunjuk sapi yang kurus, sehingga asosiasi kata kurus secara langsung dilihat.
  1. Hindari pertentangan asosiasi.
Misalnya: si terdidik mendengar kata pergi dan jalan. Yang dihindari yakni jangan sampai si terdidik mempunyai asosiasi yang bertentangan terhadap kedua kata ini. Si terdidik mengadakan asosiasi bahwa pergi dan jalan (berjalan) bertentangan. Padahal kata pergi dan berjalan mempunyai asosiasi yang sama, yakni meninggalkan suatu tempat menuju ke tempat yang lain.
Sekitar tahun 60-an mulailah pengaruh psikolinguistik dalam pengajaran bahasa, muncul metode baru dalam teori pengajaran bahasa, yakni metode audiolingual (audiolingual method) yang diperkenalkan oleh Rivers pada tahun 1964. Metode yang didasarkan pada teori psikoli. Dalam kaitan dengan metode audiolingual ini, rivers (Stern, 1983:325) mengemukakan 4 asumsi psikologis dasar, yakni:
Asumsi 1, belajar bahasa asing adalah secara dasar merupakan proses pembiasaan yang mekanis.
                  Akibat 1:kebiasaan dikuatkan oleh pengukuhan
                  Akibat 2:kebiasaan belajar bahasa asing secara efektif dibentuk dengan reaksi yang betul, dan bukan oleh pembuatan kesalahan.
                  Akibat 3:Bahasa adalah tingkah laku, karena itu tingkah laku dapat dipelajari oleh si terdidik.
Asumsi II, Ketrampilan berbahasa dipelajari lebih efektif apabila butir-butir bahasa asing diberikan secara lisan sebelum bentuk tertulis.
Asumsi Iii, Analogi menunjukkan dasar yang lebih baik untuk belajar bahasa asing dari pada analisis.
Asumsi IV, Makna yang dimiliki oleh bahasa pada pembicara asli dapat dapat dipelajari hanya dalam matriks perumpamaan kea rah kebudayaan masyarakat pemakai bahasa itu.
Dalam publikasi Rivers pada tahun 1968, ia mengemukakan bahwa belajar bahasa kedua secara fundamental melalui 2 stadia proses, yakni
(a)    Stadia rendah yang merupakan stadia awal di mana psikologi behavioris belajar sudah dianggap memadai.
(b)   Stadia yang memanfaatkan psikologi kognitif dalam proses belajar bahasa.
         D.   Bahasa dalam Lintasan Psikologi
Telah dikatakan bahwa psikologi berkaitan dengan studi tingkah laku manusia hasil proses mental itu sebabnya psikologi kadang-kadang dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari kehidupan mental dan tingkah laku individual.
Kebangunan psikologi secara otonom dimulai awal abad XVII. Pada awal perkembangan psikologi, Wundt (1877) yang dapat dianggap sebagai pendiri psikologi modern yang jilid pertama bukunya mempersoalkan bahasa.
Sedangkan menurut ahli psikologi bangsa Swis yang bernama Piaget (1932) dalam usahanya mencari hubungan antara bahasa dengan pikiran anak, mengemukakan pendapat bahwa perkembangan bahasa dan penggunaanya oleh anak tercermin dalam perkembangan mentalnya. Dan pada tahun 1957 terbit buku Syntactic Structures karangan Noam Chomsky. Chomsky menekankan pentingnya proses mental dalam aktivitas bahasa. Untuk itu Chomsky yang dikutip Ritchie (1978:4) mengemukakan 4 tendensi dalam linguistik dan psikologi yang boleh menimbulkan akibat potensial dalam pengajaran bahasa. Empat tendensi itu adalah:
a. Aspek kreativitas bahasa. Dengan adanya kreatifitas bahasa manusia dapat menciptakan berbagai konsep melalui bahasa. Dengan kata lain bahasa terbuka bagi manusia untuk menghasilkan lambang-lambang baru karena ada konsep baru muncul dalam otaknya.
b. Keabstrakan representasi linguistik. Lambang yang mewakili pesan seseorang bersifat abstrak. Tidak ada hubungan antara lambing dengan referennya.
c.  Keuniversalan struktur linguistik. Setiap bahasa mempunyai unit fonologi, morfologi, dan sintaksis.
d.   Peranan organisasi intrinsik dalam proses kognitif.
Berdasarkan uraian di atas tampak pada kita perkembangan pendekatan terhadap bahasa dilihat dari disiplin ilmu. Perlu di ulangi lagi bahwa bahasa bukanlah objek langsung psikologi. Bahasa dianggap sebagai perantara untuk mengetahui tingkah laku manusia.

E. Aspek tata bahasa dan Belajar Bahasa
Bolinger (1975:285) menyebut 4 macam tata bahasa yang berhubungan dengan perkembangan bahasa anak.
  1. Tata Bahasa Holoprastik atau tata bahasa yang menggunakan konstruksi kalimat hanya satu kata. Merupakan tata bahasa yang tidak baik. Dengan menggunakan satu kata, anak bermaksud menyampaikan pesan. Misal, ibu mengatakan “bubur” , anak mendengar bunyi bubur dan melihat benda yang disebut bubur. Anak akan mengerti bahwa bunyi kata bubur berwujud seperti bubur seperti yang ia saksikan.
  2. Tata Bahasa penghubung. Merupakan awal tata bahasa dalam perkembangan bahasa anak. Misal:ada konsep bubur dan makan. Anak akan menuturkan “bubur..”makan”, dan lama-kelamaan urutannya menjadi betul yaitu “Saya makan Bubur”
  3. Tata Bahasa Penyatuan. Anak akan mengalami kesulitan karena ia mulai menggunakan kata-kata yang lebih dari dua kata. Misal; ibu akan mengatakan “lampu”, baik untuk lampu minyak tanah maupun lampu listrik.
  4. Tata Bahasa pengulangan. Anak mengulangi pengalamannya dalam menuturkan sesuatu. Pada waktu ia mengulangi tuturan itu, sudah barang tentu ia salah. Dengan jalan mengulangi apa yang didengarnya anak akan dapat membedakan bentuk yang gramatikal dan yang tidak. Bentuk yang gramatikal akan mendapat pengukunan dari lingkungannya, sedangkan bentuk yang tidak gramatikal akan ditolak.
F.     Model Belajar Bahasa
Menurut Stern (1983:337-341) ada lima Variabel yang perlu diperhatikan kalau kita membicarakan model belajar bahasa. Kelima Variabel itu ialah:
  1. Konteks sosial, Mempengaruhi kondisi belajar dan karakteristik si terdidik. Konteks sosial berhubungan dengan faktor-faktor ekonomi, budaya dan bahasa.
  2. Karakteristik si terdidik. Yang berhubungan dengan karakteristik si terdidik adalah umur, karakteristik kognitif, karakteristik afektif , dan karakteristik kepribadian.
  3. Kondisi belajar. Apabila kondisi belajar mendukung maka proses belajar lebih mudah jika dibandingkan dengan kondisi belajar yang tidak mendukung.
  4. Proses belajar. Proses belajar berkaitan dengan strategi, teknik dan pelaksanaannya
  5. Hasil Belajar. Hasil belajar berhubungan dengan kompetensi dan performansi.
Kompetensi berhubungan dengan kematangan si terdidik menguasai kaidah bahasa yang dipelajari. Kaidah bahasa ini akan menampak pada perfomansi si terdidik. Perfomansi berkaitan dengan kecakapan dan ketuntasan menggunakan kaidah bahasa sehingga penggunaan bahsa itu sesuai dengan situasi dan kaidah yang benar.

BAB III
GANGGUAN BERBAHASA

Gangguan berbahasa ini secara garis besar dapat di bagi dua. Pertama, gangguan akibat faktor medis; dan kedua, akibat faktor lingkungan sosial. Yang dimaksud dengan faktor medis adalah gangguan, baik akibat kelainan fungsi otak maupun akibat kelainan alat-alat bicara. Sedangkan yang dimaksud dengan faktor lingkungan sosial adalah lingkungan kehidupan yang tidak alamiah manusia, seperti tersisih atau terisolasi dari lingkungan kehidupan masyarakat manusia yang sewajarnya. 

 1. Gangguan Berbicara
Berbicara merupakan aktivitas motorik yang mengandung modalitas psikis. Oleh karena itu, gangguan berbicara ini dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori. Pertama, gangguan mekanisme berbicara yang berimplikasi pada gangguan organik; kedua, gangguan berbicara psikogenik.
a.      Gangguan mekanisme jiwa
Mekanisme berbicara adalah suatu proses produksi ucapan atau perkataan oleh kegiatan terpadu dari pita suara, lidah, otot-otot yang membentuk rongga mulut serta kerongkongan, dan paru-paru. Maka gangguan berbicara berdasarkan mekanisme ini dapat dirinci menjadi gangguan berbicara akibat kelainan pada paru-paru (pulmonal), pada pita suara (laringal), pada lidah (lingual) , dan pada rongga mulut dan kerongkongan (resonantal).
1.      Gangguan akibat faktor Pulmonal
Gangguan berbicara ini dialami oleh para penderita penyakit paru-paru. Para penderita penyakit paru-paru ini kekuatan bernafasnya sangat kurang, sehingga cara berbicaranya diwarnai oleh nada yang monoton, volume suara yang kecil sekali, dan terputus-putus, meskipun dari segi semantik dan sintaksis tidak ada masalah.
2.       Gangguan akibat faktor Laringal
Gangguan pada pita suara menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi serak atau hilang sama sekali. Gangguan berbicara akibat faktor laringal ini ditandai dengan suara yang serak atau hilang tanpa kelainan semantik, dan sintaksis. Artinya dapat dilihat dari segi semantik dan sintaksis ucapanya dapat diterima.
3.      Gangguan akibat faktor Lingual
Lidah yang sariawan atau terluka akan terasa pedih kalau digerakkan, maka untuk mencegah rasa pedih ini maka dalam berbicara gerak lidah dikurangi sesuai dengan kehendak penutur.
4.      Gangguan akibat faktor Resonansi
Gangguan akibat faktor Resonansi ini menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi bersengau. Misalnya pada orang sumbing menjadi bersengau atau bindeng.
b. Gangguan akibat Multifaktoral
Akibat gangguan multifaktoral atau berbagai faktor bisa menyebabkan terjadinya berbagai gangguan berbicara, antara lain sebagai berikut.
1) Berbicara serampangan
Berbicara serampangan atau sembrono adalah berbicara dengan cepat sekali, dengan artikulasi yang rusak, ditambah dengan menelan sejumlah suku kata, sehingga apa yang diucapkan sukar dipahami.
2) Berbicara Propulsif
Gangguan berbicara propulsif biasanya terdapat pada para penderita penyakit Parkinson atau kerusakan pada otak yang menyebabkan otot menjadi gemetar, kaku dan lemah. Hal ini akan mempengaruhi proses artikulasi karena elastisitas otot lidah, otot wajah, dan pita suara sebagian besar lenyap.
3) Berbicara Mutis
Penderita gangguan Mutis ini tidak dapat berbicara sama sekali, bahkan sebagian dari mereka dianggap bisu. Mutisme ini bukan hanya tidak dapat berbicara atau berkomunikasi secara verbal tetapi juga tidak dapat berkomunikasi secara visual maupun isyarat, seperti dengan gerak-gerik dan sebagainya. 
c. Gangguan Psikogenik
Gangguan  berbicara Psikogenik ini sebenarnya tidak bisa disebut sebagai suatu gangguan berbicara karena mungkin lebih tepat jika disebut dengan variasi cara berbicara yang normal tetapi yang merupakan ungkapan dari gangguan dibidang mental.
1) Berbicara Manja
Disebut berbicara manja karena ada kesan anak melakukannya karena ingin dimanja dapat kepada orangtuanya atau pun kepada sanak famili yang dekat dengan si anak.
2) Berbicara Kemayu
Berbicara kemayu ini berkaitan dengan perangai kewanitaan yang berlebihan. Yaitu dengan melakukan gerak bibir dan lidah yang menarik perhatian dan lafal yang dilakukan secara ekstra menonjol dan gemah gemulai.
3) Berbicara Gagap
Gagap adalah berbicara yang kacau karena sering tersendat-sendat, mendadak berhenti, lalu mengulang-ulang suku kata pertama, kata-kata berikutnya, dan setelah berhasil mengucapkan kata-kata itu kalimat dapat diselesaikan.
4) Berbicara Latah
Latah sering disamakan dengan ekolalla yaitu perbuatan membeo atau menirukan apa yang dikatakan orang lain tetapi sebenarnya latah adalah suatu sindrom yang terdiri dari curah verbal repetitif yang bersifat jorok koprolalla dan gangguan lokomotorik yang dapat dipancing.

2. Gangguan Berbahasa
Berbahasa berarti berkomunikasi dengan menggunakan suatu bahasa. Untuk dapat berbahasa diperlukan kemampuan mengeluarkan kata-kata. Oleh sebab itu daerah broca dan wernecke harus berfungsi dengan baik, karena kerusakan pada daerah tersebut dan sekitarnya menyebabkan terjadinya gangguan bahasa yang disebut dengan afasia.
a. Afasia Motorik
Kerusakan pada belahan otak yang dominan yang menyebabkan terjadinya afasia motorik bisa terletak pada lapisan permukaan daerah broca atau pada lapisan di bawah permukaan daerah broca atau juga di daerah otak antara daerah broca dan daerah wernicke.
1) Afasia Motorik Kortikal
Afasia Motorik kortikal berarti hilangnya kemampuan untuk mengutarakan isi pikiran dengan menggunakan perkataan. Penderita afasia kortikal ini masih bisa mengerti bahasa lisan dan bahasa tulisan. Namun, ekspresi verbal tidak bisa sama sekali, sedangkan ekspresi visual masih bisa dilaukan.
2) Afasia Motorik Subkortikal
Penderita Afasia Motorik subkortikal adalah orang yang tidak dapat mengeluarkan isi pikirannya dengan menggunakan perkataan tetapi masih bisa mengeluarkan perkataan secara membeo. Selain itu pengertian bahasa verbal dan visual tidak terganggu dan ekspresi visual pun berjalan normal.
3) Afasia Motorik Transkortikal
Para penderita afasia motorik transkortikal dapat mengutarakan perkataan yang singkat dan tepat, tetapi masih mungkin menggunakan perkataan substitusinya. Misalnya, untuk mengatakan `pensil` sebagai jawaban atas pertanyaan `Barang yang saya pegang ini apa namanya? ` dia tidak mampu mengeluarkan perkataan itu. Namun, mampu untuk mengeluarkan parkataan `itu, tu, tu, untuk menulis. ` afasia jenis ini juga sering disebut dengan afasia nominatif.
b. Afasia Sensorik
Penyebab afasia sensorik ini adalah akibat adanya kerusakan pada lesikortikal di daerah wernicne pada hemisferium yang dominan. Kerusakan di daerah ini tidak hanya menyebabkan pengertian dari apa yang didengarnya terganggu, tetapi pengertian dari apa saja yang dilihatnya pun ikut terganggu. Namun, ia masih memiliki curah verbal meskipun hal itu tidak dapat dipahami oleh dirinya sendiri meupun orang lain. Curah verbalnya itu merupakan bahasa baru yang tidak dapat dipahami oleh siapa pun. Curah verbalnya itu terdiri dari kata-kata, ada yang mirip, ada yang tepat dengan perkataan suatu bahasa, tetapi kebanyakan tidak sama atau sesuai dengan perkataan bahasa pun.
Neologismenya itu diucapkannya dengan irama,nada, dan melodi yang sesuai dengan bahasa asing yang ada. Sikap mereka pun wajar-wajar saja seakan-akan dia berdialog dalam bahasa yang saling dimengerti. Dia bersikap biasa, tidak tegang, marah, atau depresif. Sesungguhnya apa yang diucapkannya maupun apa yang didengarnya keduanya sama sekali tidak dapat dipahami.

3. Gangguan Berpikir
Ekspresi verbal yang terganggu bersumber atau disebabkan oleh pikiran yang terganggu. Gangguan ekspresi verbal sebagai akibat dari gangguan pikiran dapat berupa hal-hal berikut.
a. Pikun (Demensia)
Kepikunan atau dimensia adalah suatu penurunan fungsi memori atau daya ingat dan daya pikir lainnya yang dari hari ke hari semakin buruk. Gangguan kognitif ini meliputi terganggunya ingatan jangka pendek, kekaliruan mengenali tempat, orang dan waktu. Juga gangguan kelancaran berbicara. Penyebab pikun ini antara lain karena terganggunya fungsi otak dalam jumlah besar, termasuk menurunnya jumlah zat-zat kimia dalam otak.
b. Sisofrenik
Sisofrenik adalah gangguan berbahasa akibat gangguan berfikir. Dulu para penderita sisofrenik juga disebut dengan schizophrenik word salad. Para penderita ini dapat mengucapkan word salad ini dengan lancar dengan volume yang cukup ataupun lemah sekali. Curah verbalnya penuh dengan kata-kata neologisme. Irama serta intonasinya menghasilkan curah verbal yang melodis. Seorang penderita sisofrenia dapat berbicara terus-menerus. Ocehannya hanya merupakan ulangan curah verbal semula dengan tambahan sedikit. Gaya bahasa sisofren dapat dibedakan dalam beberapa tahap dan menurut berbagai kriteria, yang utama adalah diferensia dalam gaya bahasa sisofrenia halusinasi dan pascahalusinasi.
c. Depresif
Orang yang tertekan jiwanya memproyeksi penderitaanya pada gaya bahasanya dan makna curah verbalnya. Volume curah verbalnya lemah lembut dan kelancarannya terputus-putus oleh interval yang cukup panjang. Namun, arah arus pikiran tidak terganggu. Kelancaran bicaranya terputus oleh tarikan nafas dalam, serta pelepasan nafas keluar yang panjang. Perangai emosional yang terasosiasi dengan depresi itu adalah universal. Curah verbal yang depresif dicoraki oleh topik yang menyedihkan, menyalahi dan mengutuk diri sendiri, kehilangan gairah bekerja dan gairah hidup, tidak mampu menikmati kehidupan. Malah cenderung mengakhirinya.

4. Gangguan lingkungan sosial
Yang dimaksud dengan akibat faktor lingkungan adalah terasingnya seorang anak manusia yang aspek biologis bahasanya normal dari lingkungan kehidupan manusia. Keterasingan ini dapat disebabkan oleh perlauan dengan sengaja maupun yang tidak sengaja. Seorang anak terasing menjadi tidak dapat berkomunikasi dengan orang disekitarnya atau dengan manusia karena dia tidak pernah mendengar suara ujaran manusia. Jadi, anak terasing karena tidak ada orang yang mengajak dan diajak berbicara, tidak mungkin dapat berbahasa. Karena dia sama sekali terasing dari kehidupan sosial masyarakat maka dengan cepat ia menjadi sama sekali tidak dapat berbahasa. Otaknya menjadi tidak lagi berfungsi secara manusiawi karena tidak ada yang membuatnya atau memungkinkannya berfungsi demikian. Maka sebenarnya anak aterasing yang tidak punya kontak dengan manusia bukan lagi manusia sebab pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial. Meskipun bentuk badannya adalah manusia tetapi dia tidak bermartabat sebagai manusia. Otaknya tidak berkembang sepenuhnya, tidak dapt berfungsi dalam masyarakat manusia, dan akhirnya menjadi tidak mampu sebagai manusia setelah beberapa tahun. Anak terasing tidak sama dengan anak primitif, sebab orang primitif masih hidup dalam suatu masyarakat. Meskipun taraf kebudayaannya sangat rendah, tetapi tetap dalam suatu lingkungan sosial. Kanak-kanak mempunyai segala kemungkinan untuk menjadi manusia hanya selama masa kanak-kanak selepas umur tujuh tahun anak itu tidak dapat dididik untuk mempelajari kebudayaan yang lebih tinggi.

BAB II
BAHASA DAN BERBAHASA
A.    Hakikat Bahasa
Hakikat bahasa menurut Kridalaksana (dalam Chaer, 1994: 33) adalah bahasa itu sebuah system, bahasa itu bersifat bunyi, bahasa itu lambing, bahasa itu konvensional, bahasa itu bersifat arbirter, bahasa itu bermakna, bersifat unik, bahasa itu bersifat unik, bahasa itu produktif, bahasa itu bervariasi, bahasa itu dinamis, bahasa merupakan identitas penuturnya, dan bahasa adalah alat interaksi social.
Sedangkan hakikat bahasa menurut Oki (dalam Yaqin, 1994: 3) yaitu:
1.      Oral (menghasilkan bunyi)
2.      Sistematis (terdapat aturan dan kompleks)
3.      Arbirter (manasuka)
4.      Konvensional
5.      Beragam.
6.      Unik dan universal
7.      Produktif atau kreatif
8.      Merupakan fenomena social
9.      Berkembang sewaktu-waktu
10.  Bersifan insane (hanyamanusia yang memiliki kemampuan berbahasa).
Dari paparan beberapa pakar di atas, dapat kami simpulkan bahwa hakikat bahasa adalah sebuah bunyi ujaran yang berupa lambing atau simbol, bersistem yang bersifat arbirter, produktif, unik, dan universal yang digunakan sebagai alat komunikasi manusia untuk berinteraksi dengan sesame.
B.      Asal Usul Bahasa
Berbicara tentang asal usul bahasa tidak akan ada habisnya, karena begitu banyak pakar yang mengemukakan pendapat yang berbeda-beda sesuai dengan penemuan mereka masing-masing. Untuk itu kita akan mengambil dari beberapa pakar yang berkenaan dengan asal usul bahasa.
Menurut pandangan Islam menyebutkan bahwa bahasa besumber dari Tuhan. Dalam kitab suci agama Islam misalnya disebutkan bahwa Adam sebagai manusia pertama yang diciptakan oleh Allah dengan berbagai kemampuan yang dibekalkan kepadanya, termasuk berbahahasa (Q.S. Al Baqoroh: 31 dan Q.S Ar Rum: 22).
Akan tetapi, lain lagi jika menurut kisah “kejadian” (Injil, Kajadian 2: 19) bahwa manusia diciptakan dalam imajinasi Tuhan dan kemampuan bahasa merupakan salah satu dari sifat manusia.
Dalam teori Brooks (dalam Chaer, 2002: 32) dapat juga kita ketahui mengenai asal usul bahasa. Teori ini sejalan dengan psikolinguistik dewasa sekarang ini. Di sini dijelaskan bahwa bahasa itu lahir bersamaan dengan kelahiran manusia. Berdasarkan penemuan-penemuan antropologi, arkeologi, sejarah purba, dll. Yang kita ketahui sekarang adalah sejarah yang kira-kira dua juta tahun yang lalu. Menurut hipotesis Brook bahasa pada mulanya dulu berupa bunyi-bunyi tetap yang untuk menggantikan atau symbol bagi benda, hal, atau kejadian tetap di sekitar yang dekat dengan bunyi-bunyi itu. kemudian bunyi-bunyi itu dipakai bersama oleh orang-orang setempat.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa itu timbul akibat tiruan bunyi-bunyi yang didengar oleh manusia dan lingkungannya. Kemudian dimaknai oleh seseorang, dipengaruhi oleh dorongan hati yang kuat seseorang untuk melakukan interaksi (komunikasi). Karena setiap manusia pasti memiliki keinginan-keinginan yang ingin diwujudkan serta diutarakan. Terlihat jelas bahwa di sini manusialah yang berperan dalam mengemukakan sebuah bahasa tersebut. dan akal manusia juga yang membuatnya sempurna.
Darip perbedaan-perbedaan yang ada, tidak dapat kita salahkan karena kita merupakan penerus dari nenek moyang, yang hanya dapat mewarisi apa yang mereka miliki. Sehinggah kajian yang ada bersifat terbatas. Adapun teori-teori yang ada, bahwa sumber bahasa dari tuhan, bunyi alam, isyarat lisan, hanyalah semata kemampuan manusia secara fisiologis.

C.     Fungsi-Fungsi Bahasa
Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat interaksi social (komunikasi), dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep, atau juga perasaan (chaer, 2002: 33). Komunikasi ini dapat berupa lisan maupun tulisan. Komunikasi dengan bahasa ini, dapat kita jumpai melalui aktivitas manusia yang mendasar, yaitu dengan berbicara dan mendengarkan. Dua kegiatan inilah yang sangat berperan penting dalam pencapaian tujuan.
Sedangkan fungsi khusus yang digunakan berdasarkan kebutuhan seseorang adalah sebagai berikut:
1.      Sebagai alat ekspresi diri, bahasa sebagai wahana untuk mengespresikan kehendaknya atau perasaannya padasasaran yang tepat.
2.      Bahasa seabgai alat komunikasi
3.      Bahasa sebagai alat integrasi dan adaptasi social
4.      Bahasa sebagai alat control social.
Sedangkan menurut Finachiaro (1977) membagi fungsi bahasa menjadi beberapa yaitu:
1.  Fungsi bahasa yang bersifat intrapersonal (matheik), yaitu penggunaan bahasa untuk memecahkan persoalan.
2.    Fungsi bahasa bersifat interpersonal (progmatik), yaitu yang menunjukkan adanya suatu pesan atau keinginan penutur.
3.      Fungsi direktif, yaitu untuk mengatur orang lain
4.      Funsi referensial, yaitu untuk menampilkan suatu referen
5.      Fungsi imajinatif
D.    Struktur Bahasa
Berbicara tentang struktur bahasa, dalam setiap analisis bahasa ada dua buah konsep yang perlu dipahami, yaitu struktur dan system. Struktur menyangkut masalah hubungan antara unsure-unsur di dalam satuan ujaran. Sedangkan system berkenaan dengan hubungan antara unsure-unsur bahasa pada satuan-satuan ujaran yang lain.
Dalam linguistic generative transformasi dapat dilihat beberapa tentang sruktur bahasa yaitu:
1.      Tata bahasa
tata bahasa ini sama dengan sebuah “pengetahuan” seseorang akan bahasanya, yang lazim disebut dengan “kompetensi”. Kemudian kompetensi ini akan dimanfaatkan dalam pelaksanaan bahasa (performansi). Adapun pengetahuan seseorang akan tata bahasanya dinuranikan oleh orang sejalan dengan proses pemerolehan bahasa. Yang dinuranikan  itu tidak alain adalah dari rumus-rumus atau kaidah-kaidah yang jumlahnya terbatas, yang digunakan untuk membangkitkan kalimat atau bahasa-bahasa yang tidak terbatas.
2.      Struktur luar dan struktur dalam
Struktur dalam adalah struktuir kalimat itu secara abstrak yang berada di dalam otak penutur sebelum kalimat diucapkan oleh penutur. Sedangkan yang dimaksud struktur luar adalah struktur kalimat itu ketika diucapkan oleh seseorang yang dapat kita dengar dan kita cerna dengan berbagai macam makna.
3.      Komponen tata bahasa
Setiap tata bahasa dibangun oleh komponen. Komponen tata bahasa ini terdapat tiga macam komponen, yaitu:
a.   Komponen sintaksis, guna untuk menentukan  hubungan antara pola-pola bunyi bahasa dengan makna-maknanya dengan cara mengatur urutan kata-kata yang membentuk frase atau kalimat sesuai dengan makna yang diinginkan penuturnya.
b.     Komponen semantic, maksudnya ialah mengetahui dari makna yang terkandung. Dengan kata lain setiap bahasa yang diujarkan dapat dikethui maknanya oleh pemakai bahasa. Makna suatu kalimat juga dipengaruhi oleh beberapa factor, diantaranya adalah (1) makna leksikal kata yang membentuk kalimat, (2) urutan kata dalam organisasi kalimat, (3) intonasi, cara kalimat diucapkan atau dituliskan, (4) konteks situasi,  (5) kalimat sebelum dan sesudah yang menyertai kalimat itu.
c.  Komponen fonologi, yaitu system bunyi suatu bahasa. Tugasnya mengubah struktur-luar sintaksis menjadi representasi fonetik yaitu bunyi-bunyi bahasa yang kita dengar yang diucapkan oleh seorang penutur.
E.     Proses Berbahasa
Bahasa dan berbahasa adalah dua hal yang berbeda. Bahasa adalah alat verbal yang digunakan untuk berkomunikasi, sedangkan berbahasa sendiri adalah proses menyampaikan informasi dalam berkomunikasi itu. Proses berbahasa adalah proses mental yang terjadi pada waktu kita berbicara ataupun proses mental yang menjadi dasar pada waktu kita mendengar, mengerti, dan mengingat dapat diterangkan dengan suatu system kognitif yang ada pada manusia.
Manusia mempuyai suatu system penggunaan bahasa dan psikologi bahasa yang mempelajari cara kerja dari system ini. System ini dapat menerangkan misalnya, bagaimana manusia dapat menyampaikan pikiran dengan kata-kata (produksi bahasa) dan bagaimana manusia mengerti “isi’ pikiran atau makna dari suatu kalimat yang diucapkan atau ditulis (persepsi bahasa).
Berbahasa merupakan gabungan berurutan antara dua proses. Pertama, proses produktif artinya proses yang berlangsung pada diri pembicara yang menghasilkan kode-kode bahasa yang bermakna dan berguna. Kedua, proses reseptif artinya proses yang berlangsung pada diri pendengar yang menerima kode-kode bahasa yang bermakna dan berguna yang disampaikan oleh pembicara melalui alat-alat artikulasi dan diterima melalui alat-alat pendengar.
Proses rancangan berbahasa produktif  dapat dibagi menjadi tiga tahapan yakni: (1) encode semantic, yaitu proses penyusunan ide, gagasan, atau konsep.
(2) encode gramatikal, yaitu penyusunan konsep atau ide dalam bentuk satuan gramatikal.
(3) encode fonologi, yaitu penyusunan bunyi dari kode tersebu yang kemudian dilontarkan kepada lawan bicara dengan pemahaman.